Rabu, 21 Maret 2012

Askep Kejang Demam


A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. DEFINISI
o Kejang adalah episode motorik, sensorik, autonomic / aktifitas psikis abnormal sebagai akibat dari muatan berlebihan yang tiba-tiba di neuron serebral.
o Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebial yang berlebihan. 
 
2. ETIOLOGI
Adapun penyebab dari kejang ini secara umum adalah sebagai berikut:
a. Gangguan vaskuler
o Perdarahan berupa petekia akibat anoksia dan asfiksia yang dapat terjadi intraserebral / intraventrikular.
o Perdarahan akibat trauma langsung, yaitu berupa perdarahan di sub aranoidal / subdural.
o Trombosis.
o Penyakit perdarahan seperti defisiensi vitamin K.
o Sindrom hiperviskositas.
b. Gangguan metabolisme
o Hipokalsemia.
o Hipomagnesemia.
o Defisiensi dan ketergantungan akan piridoksin.
o Aminoasiduria.
o Hiponatremia.
o Hipernatremia.
o Hiperbilirubinemia.
c. Infeksi
o Meningitis.
o Sepsis.
o Ensefalitis.
o Toksoplasma congenital.
o Penyakit cytomegalic inclusion.
d. Kelainan congenital (malformasi otak congenital)
o Perensefali.
o Hidransefali.
o Agenesis sebagian dari otak.
e. Lain-lain
o Factor genetic.
o Penyakit demam.
o Trauma.
o Neoplasma.
o Toksin.
o Penyakit degeneratif susunan syaraf.

3. JENIS KEJANG
3.1 Kejang Parsial
a. Kejang parsial sederhana. Manifestasi klinis:
Kesadaran tidak terganggu dapat mencakup satu / lebih hal berikut ini:
o Tanda-tanda motoris seperti kedutan pada wajah, tangan / salah satu sisi tubuh, umunya gerakan setiap kejang sama.
o Tanda / gejala otonomik seperti muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil.
o Gejala somatosensoris / sensoris khusus seperti: mendengar musik, merasa seakan jatuh dari udara, parestesia.
b. Kejang parsial kompleks
Manifestasi klinisnya adalah:
o Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks.
o Dapat mencakup otomatisme / gerakan otomatik seperti mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, gerakan mencongkel yang berulang-ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
o Dapat tanpa otomatisme seperti tatapan terpaku.

3.2 Kejang Umum (Konfulsiv / Nonkonfulsif).
a. Kejang absens
Manifestasi klinisnya adalah:
o Gangguan kewaspadaan dan responsivitas.
o Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik.
o Awitan dan kahiran cepat, setelah itu kembali waspada dan konsentrasi penuh.
o Umunya dimulai pada usia antara 4 – 14 tahun dan sering sembuh dengan sendirinya saat usia 18 tahun.
b. Kejang mioklonik
Manifestasi klinisnya adalah:
o Kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi mendadak.
o Sering terlihat pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik berupa kedutan-kedutan singkron dari leher, bahu, lengan atas dan kaki.
o Umunya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok.
o Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c. Kejang tonik – klonik
o Diawali dengan hilangnya kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit.
o Dapat disertai hilangnya control kandung kemih dan usus.
o Tidak ada respirasi dan sianosis.
o Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremias atas dan bawah.
o Letargie, konfusi, dan tidur dalam postictal
d. Kejang atonik
o Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk / jatuh ke tanah.
o Singkat dan terjadi tanpa peringatan.
e. Status epileptikus
o Biasanya kejang tonik – klonik umum yang terjadi berulang-ulang.
o Anak tidak sadar kembali diantara kejang.
o Potensial untuk depresi pernafasan, hipotensi dan hipoksia.
o Memerlukan pengobatan medis darurat dengan segera.

4. PATOFISIOLOGI
Apabila otak mengalami penurunan oksigen, karbondioksida dan konsentrasi glukosa darah serta infeksi otak mengakibatkan kerusakan sel syaraf sehingga dia mengalami kesulitan dalam melepaskan impuls listrik. Aktifitas neuron serebral menjadi tidak terkontrol / abnormal sehingga motorik dan sensorik tidak terhubung. Jika pada otot tertentu mengakibatkan spasme otot dan involunter kuat (tonik) atau intermitten (klonik) dan jika mengenai general akan terjadi spasme / konvulsif.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Elektrokardiogram (EEG), dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan focus dari kejang.
o Diagnosis epilepsy tidak hanya tergantung pada temuan EEG yang abnormal.
o Tidur alami lebih disukai selama EEG, meskipun sedasi dengan pemantauan mungkin diindikasikan.
b. Pemindaian CT.
Menggunakan kajian sinar – X yang lebih sensitive dari biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetic dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah-daerah otak (region fossa posterior dan region sella) yang tidak jelas terlihat bila menggunakan pemindaian CT.
d. Pemindaian Positron emission Tomography (PET).
Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolic . aliran darah dalam otak.
e. Uji lab yang diminta berdasarkan riwayat anak dan hasil pemeriksaan.
o Pungsi lumbal untuk menganalisa cairan serebrospinal terutama dipakai untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.
o Hitung darah lengkap:
Untuk menyingkirkan infeksi sebagai penyebab dan pada kasus yang diduga disebabkan trauma, dapat mengevaluasi hematokrit dan jumlah trombosit.
o Panel elektrolit.
Serum elektrolit, Ca total dan magnesium serum sering kali diperiksa pada saat pertama kali terjadi kejang dan pada anak yang berusia kurang dari 3 bulan, dengan penyebab elektrolit dan metabolic lebih lazim ditemui (uji glukosa darah dapat sangat bermanfaat pada bayi / anak kecil dengan kejang yang berkepanjangan untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia).
o Skrining toksik dari serum dan urine.
Digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan keracunan.
o Pemantauan kadar obat antiepileptic.
Digunakan pada fase awal penatalaksaan dan jika kepatuhan pasien diragukan.

6. PENATALAKSANAAN
a. Selama Kejang
o Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu.
o Mengamankan pasien di lantai, jika memungkinkan.
o Melindungi kepala dengan bantalan untuk mencegah cedera.
o Lepaskan pakaian yang ketat.
o Singkirkan semua perabot yang mencederai pasien selama kejang.
o Jika pasien di tempat tidur, singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.
o Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan diantara gigi-gigi untuk mengurangi lidah atau pipi dari gigitan.
o Jangan berusaha untuk membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk memasukkan sesuatu. Gigi patah dan cedera pada bibir dan lidah dapat terjadi karena tindakan ini.
o Jika mungkin, tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala flexi ke depan, yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan pengeluaran saliva dan mucus. Jika disediakan penghisap, gunakan jika perlu untuk membersihkan secret.
b. Setelah Kejang
o Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa jalan nafas paten.
o Periode apuea pendek dapat terjadi selama / secara tiba-tiba setelah kejang.
o Pasien pada saat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan.
o Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut.
c. Pengobatan / terapi farmakologis.
Terapi obat antiepileptic adalah dasar dari penatalaksanaan medis. Terapi obat tunggal adalah terapi yang paling disukai, dengan tujuan menyeimbangkan control kejang dan efek samping yang merugikan. Obat pilihan didasarkan pada jenis kejang, sindrom epileptic dan variable pasien. Mungkin diperlukan kombinasi obat agar kejang dapat dikendalikan.
Mekanisme kerja obat-obat antiepileptic bersifat kompleks dan belum jelas sepenuhnya. Obat antikonvulsan dapat mengurangi letupan neural, mambntu aktifitas asam amino penghambat / mengurangi letupan lambat dari neuron thalamus.
Berikut ini terdapat antikonvulsan yang umum dipakai:
o Fenobarbital
Indikasi: kejang mioklonik, tonik – klonik, status epileptikus.
Kadar terapeutik: 15 – 40 mcg/ml
o Fenitoin (dilantin)
Indikasi: kejang parsial, tonik-klonik, status epileptikus.
Kadar terapeutik: 10 – 20 mcg/ml
o Karbamazepin.
Indikasi: kejang parsial, tonik – klonik.
Kadar terapeutik: 4 – 12 mcg/ml.
o Asam valproat (depakene)
Indikasi: kejang absens, mioklonik, tonik-klonik, atonik dan terutama bermanfaat untuk gangguan kejang campuran.
Kadar terapeutik: 40 – 100 mcg/ml.
o Primidon (Mysoline)
Indikasi: kadang-kadang digunakan untuk mengobati kejang tonik – klonik.
Kadar terapeutik: 4 – 12 mcg/ml.
o Etosuksimid (zarontin).
Indikasi: kejang absens.
o Klonazepam (klonopin)
Indikasi: kejang absens, tonik-klonik, spasme infantile.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Sifat kejang biasanya menunjukkan tipe tindakan yang diindikasikan. Sebelum dan selama kejang, hal berikut dikaji dan didokumentasikan:
a. Keadaan sebelum kejang (penglihatan, stimulus auditorius / oftalmikus, stimulus taktil, ganngguan emosi / psikologis, tidur, hiperventilasi).
b. Hal pertama yang difikirkan pada saat kejang, dimana gerakan / kekakuan mulai, menafsirkan posisi yang tepat dan posisi kepala pada saat kejang dimulai. Informasi ini memberikan petunjuk lokasi focus epileptogemik pada otak. (Di dalam catatan, penting untuk menyatakan apakah mulainya kejang terlihat / tidak).
c. Tipe gerakan pada tubuh yang terkena.
d. Daerah tubuh yang terkena. (membalikkan tubuh di tempat tidur dan memajankan pasien).
e. Ukuran kedua pupil. Apakah mata terbuka? Apakah mata dan kepala berputar ke salah satu sisi?
f. Apakah terlihat ada / tidak ada gerakan automatis (aktivitas motorik yang tidak disadari seperti bibir mengecap / menelan berulang).
g. Inkontinensia urine / feses.
h. Durasi setiap fase kejang.
i. Keadaan tidak sadar, bila ada dan durasinya.
j. Paralysis yang nyata / kelemahan pada lengan setelah kejang.
k. Ketidakmampuan untuk berbicara setelah kejang.
l. Gerakan pada akhir kejang.
m. Apakah pasien tidur / tidak setelah kejang.
n. Apakah pasien konfusi / tidak setelah kejang.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Resiko terjadi hipoksia / aspirasi berhubungan dengan kesadaran yang menurun.
b. Resiko cedera / komplikasi berhubungan dengan adanya kejang.
c. Koping tidak efektif yang berhubungan dengan stress akibat dari adanya kejang.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Resiko terjadi hipoksia / aspirasi berhubungan dengan kesadaran yang menurun.
Tujuan jangka panjang:
o Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan hipoksia / aspirasi tidak akan terjadi.
Tujuan jangka pendek:
o Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 24 jam diharapkan pasien dapat sadara penuh.
Criteria standart:
o Tidak terjadi hipoksia.
o Tidak terjadi penurunan kesadaran (compos mentis).
Intervensi keperawatan:
o Baringkan pasien di tempat yang rata, kepala dimiringkan dan pasangkan sudip lidah yang telah dibungkus dengan kasa.
Rasional : mencegah aspirasi isi lambung serta menghindarkan dari cedera pada bibir dan gigi patah.
o Singkirkan benda-benda tajam yang ada di sekitar pasien, tinggikan pagar tempat tidur, dan longgarkan pakaiannya.
Rasional : memudahkan pernafasan dan menghindari cedera.
o Isap lendir sampai bersih dan berikan O2 sesuai dengan program yang ada.
Rasional : membersihkan secret dan memudahkan pernafasan.
o Jika pasien bangun dan sadar, berikan minum air hangat.
Rasional : mengencerkan dan membantu pengeluaran sisa-sisa lendir yang ada.
o Observasi tingkat kesadaran pasien.
Rasional : mengetahui status kesadaran dan perkembangan kesadaran pasien.
o Kolaborasi pemberian obat penenang.
Rasional : memberikan ketenangan kepada pasien.
b. Resiko cedera / komplikasi berhubungan dengan adanya kejang.
Tujuan jangka panjang:
o Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan tidak terjadi cedera atau komplikasi.
Tujuan jangka pendek:
o Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 24 jam, diharapkan pasien sudah tidak kejang lagi.
Criteria standart:
o Tidak terjadi cedera.
o Tidak tejerjadi kejang.
Intervensi keperawatan:
o Selama kejang, pasien harus didampingi dengan seorang yang mendampinginya.
Rasional : mencegah dari kemungkinan cedera.
o Berikan antikonvulsi secara cepat.
Menghindari resiko komplikasi.
o Berikan pengetahuan orang tua tentang keselamatan anaknya.
Rasional : Kebanyakan cedera yang umum pada anak dihubungkan dengan ketidak sengajaan dari perilaku orang tuanya.
o Catat dengan cermat jenis obat yang diberikan dan jam pemberiannya.
Rasional : jika terlalu dekat waktu pemberiannya dengan obat yang sama akan mengakibatkan retardasi mental.
c. Koping tidak efektif yang berhubungan dengan stress akibat dari adanya kejang.
Tujuan jangka panjang:
o Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan koping pasien menjadi efektif.
Tujuan jangka pendek:
o Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 24 jam, diharapkan stress pasien tidak terjadi.
Criteria standart:
o Koping efektif.
o Stress tidak terjadi.
Intervensi keperawatan:
o Isolasi dan pisahkan dari lingkungan sekolah dan kelompok bermain atau beraktivitas.
Rasional : menghindari stressor.
o Berikan konseling kepada individu dan keluarga dalam memahami kondisi penyakit.
Rasional : membantu mengembangkan dukungan yang continue.
o Anjurkan keterlibatan orang tua dalam mengidentifikasi strategi atau deficit koping anak.
Rasional : mengidentifikasii peran orang tua dalam mengatasi koping yang tidak efektif.

4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
a. Resiko terjadi hipoksia / aspirasi berhubungan dengan kesadaran yang menurun.
o Membaringkan pasien di tempat yang rata dengan kepala dimiringkan dan pasangkan sudip lidah yang telah dibungkus kassa.
o Menyingkirkan benda-benda tajam yang ada di sekitar pasien, meninggikan pagar tempat tidur dan melonggarkan pakaiannya.
o Menghisap lendir sampai bersih dan berikan O2 sesuai dengan program (boleh sampai 4 liter / menit).
o Jika pasien bangun atau sadar berikanlah minum air hangat.
o Mengobservasi tingkat kesadaran.
o Berkolaborasi dalam pemberian obat penenang (Diazepam IV) sesuai usia dan berat badan.
b. Resiko cedera / komplikasi berhubungan dengan adanya kejang.
o Selama kejang pasien harus ada pendamping.
Misal: keluarga, teman dekat.
o Memberikan antikonvulsi secara tepat.
Misal: Fenobarbital, As. Falproat, Fenitoin.
o Memberikan pengetahuan orang tua tentang keselamatan anaknya.
Memberikan penjelasan tetnang pentingnya menjaga keselamatan untuk menghindari cedera.
o Mencatat dengancermat jenis obat dan jam pemberian.
Diazepam IV: dosis rata-rata 0,3 mg per Kg BB. Setelah 15 menit kemudian diulang dengan dosis dan cara yang sama.
c. Koping tidak efektif yang berhubungan dengan stress akibat dari adanya kejang.
o Mengisolasi dan memisahkan dari sekolah dan kelompok aktivitas.
Pasien selalu didampingi oleh keluarga, menghindarkan dari keramaian.
o Memberikan konseling pada individu dan keluarga dalam memahami kondisi penyakit.
Memberikan penyuluhan kesehatan tentang proses penyakit.
o Menganjurkan keterlibatan orang tua dalam mengidentifikasi strategi atau deficit koping anak.
Orang tua harus membarikan koping yang efektif agar anak terhindar dari stressor.
5. EVALUASI
a. Anak terbebas dari cedera fisik.
b. Meningkatkan penyesuaian psikososial dengan mendiskusikan perasaan.
c. Mempertahankan control kejang:
o Mengikuti program pengobatan dan mengidentifikasikan bahaya obat yang diberikan.
o Mengidentifikasi efek samping obat.
o Menghindari factor atau situasi yang dapat menimbulkan kejang.

C. LITERATUR
Betz L. Cecily, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Keperawatan Anak FKUI.
Ngastiyah. 1995. Perawatan anak sakit. Jakarta: EGC.
Doengoes E. Marilynn. 2001. Rencana Perawatan Maternal / Bayi Edisi 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer C. Suzanne, dkk. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Bruneer & Suddarth Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC.
Hidayat, Alimul Aziz. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak Buku 2. Jakarta: Salemba Medika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar